..kisah si bawal putih bersama sang tenggiri..

Di sebuah perairan nun di utara, tinggal sang tenggiri di sebuah gua, mendidik anak bangsa, dengan semangat wira. Satu ketika dahulu, di gua itulah, sang tenggiri dan si bawal putih membesar bersama, mengenal ilmu akhirat dan ilmu dunia. Setelah sekian lama terpisah, mereka bertemu kembali, masing-masing dengan pengalaman sendiri. Bertemu, bertukar-tukar cerita, mengembalikan nostalgia, seakan kembali ke zaman muda. Jalinan persahabatan dianyam semula, mencetus hubungan ikhlas penuh mesra. Sang tenggiri juga sendiri, melewati hari-harinya yang sepi, munculnya si bawal putih sesekali, dapat jua ruang waktunya terisi. Sang tenggiri hatinya murni, walau sesekali tuturnya mengguris hati, namun telah difahami sejak azali.
Pertemuan demi pertemuan diatur, bersama berkencana, berlagu ria lupakan seketika segala lara. Kadangkala sang tenggiri mengadu, jiwanya sunyi menyusuri hari, idamkan suri menghiasi hati. Satu hari nan indah, sang tenggiri suarakan hasrat hati, jiwanya sudah terpaut pada seorang puteri. Ini adalah pengalaman pertama, pada si bawal putih, nasihat dipinta, bagaimana memikat si puteri rahsia. Si bawal putih berasa gembira, sahabatnya bakal bertemu bahagia, panduan dititip dengan sempurna. Namun sang tenggiri takutkan bayangan sendiri, rendah diri memenuhi hati, risau hajatnya disalaherti. Identiti si puteri menjadi rahsia, belum waktunya dicanangkan siapa. Semakin lama semangat ingin tahu si bawal putih semakin kuat, siapakah gerangan si puteri yang hebat, sehingga sukar dirinya dijerat.
Akhirnya, di suatu keheningan malam, kala hidupan lain turut berdiam, sang tenggiri membuat pengakuan, tidak lain tidak bukan, si bawal putihlah si puteri idaman. Suasana senyap sunyi, bagai memahami situasi, si bawal putih terpaku sendiri, tidak disangka ini yang terjadi walau sesekali pernah terdetik di hati. Pada sang tenggiri, maaf dipohonnya, tidak berani menjanjikan apa-apa, kerana dirinya belum bersedia, lantaran baru usai episod derita, juga anggapannya sekadar kawan biasa. Si bawal putih perlukan masa dan ruang, mencari-cari apa yang hilang dan mencongak-congak perkara mendatang.
Kini si bawal putih memahami, hakikat perasaan ini, disukai oleh yang tidak dicintai, seperti mana kisahnya dengan sang putera, cinta itu tidak boleh dipaksa, bertepuk sebelah tangan bunyinya tiada. Bukankah bagus kalau perasaan itu sifatnya benda, hanya memenuhi ruang kosong yang ada? Tetapi perasaan itu satu anugerah, tidak boleh diletakkan di tempat yang salah, hanya kepada-Nya tempat berserah.